Sunday, May 11, 2008

Anang Ardiansyah, Maestro Lagu Banjar


Suatu pagi, Anang Ardiansyah baru tiba di Taman Budaya Kalimantan Selatan, Banjarmasin. Beberapa seniman dan pegawai yang ada di pusat kebudayaan di Jalan Brigjen Hasan Basry itu spontan menyalami seniman Banjar ini.

Nyaris dengan siapa pun, Anang tak berjarak. Itulah Anang Ardiansyah, seniman andalan Kalsel. Dari tangannyalah tercipta lagu banjar yang menjadi ikon lagu daerah Kalsel.

Simak penggalan tembang ciptaannya: wayah pang sudah hari baganti musim/wayah pang sudah/kotabaru gunungnya bamega/bamega ombak manampur di sala karang/ombak manampur di sala karang/ batamu lawanlah adinda/adinda iman di dada rasa malayang/iman di dada rasa malayang.

Bagi mereka yang mengenal Kalsel, sepintas membaca lirik Paris Barantai itu terasa akrab. Karya Anang sama terkenalnya dengan nyanyian Ampar-ampar Pisang ciptaan Thamrin dan dirilis Hamiedan AC.

Pada 1960-an Paris Barantai direkam dalam piringan hitam oleh Orkes Melayu Rindang Banua dan Ampar-ampar Pisang oleh Orkes Melayu Taboneo. Kedua lagu itu populer dan terus diperdengarkan Radio Republik Indonesia (RRI) di seluruh Tanah Air. Sampai kini, belum ada lagu banjar sepopuler kedua lagu itu.

Anang juga dikenal lewat lagu banjar lainnya, seperti Pangeran Suryanata, Kambang Goyang, Nasib Pambatangan, Sanja Kuning, dan Kakamban Habang. Dari tangan dia, tercipta sekitar 103 lagu banjar. Sebagian dari lagu tersebut sudah direkam dalam tujuh album, dan sekitar 43 lagunya bisa dibilang populer.

”Saya mencipta lagu sejak SMA,” kata lelaki yang pada 1954 pernah meraih penghargaan Bintang Langgam di Banjarmasin itu. Tahun 1957 ia merantau ke Malang, Jawa Timur, untuk belajar di tingkat SMA.

Setahun kemudian Anang pindah ke Surabaya. Di kota ini dia bergabung dengan Orkes Melayu Rindang Banua yang dipimpin dokter Sarkawi. Orkes ini kumpulan pemuda Kalimantan yang tergabung dalam Kerukunan Keluarga Kalimantan. Sebelum bergabung dalam band itu, ia meraih juara harapan seriosa Lomba Nyanyi Langgam di Malang.

”Di sinilah kami belajar membuat lagu banjar. Saat itu belum ada lagu Kalimantan (Kalsel) diciptakan dengan iringan musik band. Kami awalnya membuat lagu banjar dari gubahan lagu-lagu rakyat berupa pantun. Setelah digubah, jadilah lagu-lagu banjar baru dan bisa diterima warga. Kami sering membawakannya saat diundang mengisi acara perkawinan,” ceritanya.

Lagu Paris Barantai tercipta ketika Anang sering melihat pertunjukan seni tari gandut—seni tari khas Banjar yang dilakukan berpasang-pasangan seperti tari ronggeng atau tayub—yang sekarang bisa dikatakan punah.

”Dulu, salah satu penari wanitanya bernama Su Paris. Wanita itu langkar (cantik). Kesenian mereka dimainkan di berbagai tempat, dari Banjarmasin, Bati-bati, Sungai Danau, Pagatan, hingga Kotabaru. Kesenian itulah yang menginspirasi lagu itu,” katanya.

Begitu seringnya membawakan lagu banjar, Rindang Banua menjadi terkenal di Surabaya dan Banjarmasin. Band ini terangkat namanya tahun 1959 saat lagu Paris Barantai masuk rekaman piringan hitam yang dikerjakan Lokananta di Solo.

Sang Kolonel

Selain berkesenian, Anang juga memiliki karier panjang pada jajaran militer hingga berpangkat kolonel. Seniman Kalsel ini masuk TNI tahun 1962 setelah lulus Sekolah Calon Perwira (Secapa) di Banjarmasin pada 1961.

Selama hampir 30 tahun bergabung dengan TNI, Anang bertugas ke berbagai daerah, seperti Bandung, Cirebon, Surabaya, Makassar, dan Balikpapan. Terakhir dia bertugas di Banjarmasin.

”Selama bertugas pun saya terus membuat lagu banjar,” kata Anang, yang jabatan terakhirnya pemeriksa di Inspektorat Daerah Militer VI/Tanjungpura, Balikpapan.

Saat bertugas di Kalimantan Timur, Anang sempat menciptakan lagu untuk daerah setempat, seperti Balikpapan, Samarinda, Di Hunjuran Mahakam, Di Panajam Kita Badapat, dan Apo Kayan. Lagu-lagu itu direkamnya dalam kaset pada 1987 dengan judul Curiak.

Selesai di militer, tahun 1992 Anang membentuk kelompok musik Tygaroon’s Group dan mendirikan Tygaroon’s Mini Studio. Dari studio itulah beberapa album lagu banjar dihasilkannya.

Kegiatan berkesenian mulai menurun ketika Anang terjun di dunia politik. Periode 1999-2004 ia menjabat Wakil Ketua DPRD Hulu Sungai Utara dan Ketua Dewan Pengurus Daerah Partai Golkar Kabupaten Hulu Sungai Utara.

Mudah dicerna

Era 1980-an memang menjadi milik Anang. Masa itu banyak lagunya direkam, baik berupa album sendiri maupun bersama lagu banjar ciptaan seniman lain. Lagu-lagu itu dikemas dalam alunan pop, latin, jazz, dan melayu.

Karakter lagu dan lirik yang mudah dicerna dan memiliki pesan moral membuat lagu-lagunya populer. Lirik lagu-lagu banjar yang diciptakannya itu kebanyakan berasal dari lagu-lagu rakyat berupa pantun-pantun yang pada masa lalu berkembang di tepian sungai, pesisir, dan daratan.

Jenisnya, ada lagu rantauan berupa lagu rakyat yang berkembang di tepian sungai dengan ciri beralun seperti gelombang sungai. Lengkingan suara yang diperdengarkan seperti meratapi nasib.

Sedangkan lagu pandahan berupa lagu-lagu pada tari japin yang hidup di Banua Anam. Lagu-lagu ini dinyanyikan saat mairik banih (melepas bulir-bulir padi dari tangkainya dengan cara diinjak-injak). Terakhir pasisiran, yaitu lagu-lagu yang berkembang di daerah Kotabaru, biasanya dinyanyikan untuk mengiringi tarian japin sigam.

Kata Anang, lagu banjar hampir 80 persen lagu melayu. Tetapi dalam perkembangannya, lagu ini tak lagi memiliki cengkok mengalun seperti lagu melayu. Irama lagu banjar lebih tegas, mungkin karena 20 persennya mendapat pengaruh lain seperti Dayak, China, Arab, dan Jawa.

Meski berusia 70 tahun, seniman yang pandai bermain gitar sejak kelas IV SD ini mengaku tetap rutin berkunjung ke Taman Budaya Kalsel. Selain bersilaturahmi dengan sesama seniman, ia juga masih menyempatkan diri mengajar menyanyi untuk anak sekolah.

”Selagi masih bisa, saya terus mendorong para seniman muda membuat lagu banjar yang cocok dengan musik sekarang. Biar lagu banjar tetap menjadi tuan rumah di daerahnya sendiri,” kata Anang yang juga pengurus Lembaga Budaya Banjar itu berharap.

No comments: